Kami dari Tawassuth mengapresiasi penuh langkah Presiden Prabowo. Penegasan ini bukan hanya menyelesaikan polemik batas wilayah, tetapi juga menunjukkan bahwa negara berpihak pada keadilan historis dan martabat daerah, tegas Wahyu di Jakarta, Senin (17/6).
Keempat pulau tersebut selama bertahun-tahun menjadi titik sengketa administratif antara Kabupaten Aceh Tamiang (Aceh) dan Kabupaten Langkat (Sumatera Utara). Ketidakjelasan status wilayah berdampak pada pembangunan yang tersendat, pelayanan publik yang terbatas, dan munculnya keresahan sosial di wilayah perbatasan.
Ketika Presiden langsung menyatakan bahwa keempat pulau itu milik Aceh, itu bukan sekadar keputusan birokrasi. Itu keputusan politik negara yang berpihak pada konstitusi, sejarah, dan suara masyarakat,” lanjut Wahyu.
Menurutnya, keputusan ini menjadi angin segar bagi warga Aceh Tamiang dan menjadi preseden nasional dalam penyelesaian sengketa tapal batas secara damai, adil, dan bermartabat.
Wahyu juga mendesak agar pernyataan Presiden segera ditindaklanjuti dengan tindakan administratif dan pembangunan konkret. Ia menyebut pentingnya pemutakhiran data wilayah, kehadiran simbol negara (seperti kantor pelayanan, dermaga, dan pos keamanan), serta pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau tersebut.
Keadilan wilayah harus dibuktikan dengan kehadiran negara. Jangan sampai setelah ditetapkan milik Aceh, justru pembangunan tetap absen. Presiden sudah mengambil langkah besar, kini tugas kementerian dan daerah untuk mengeksekusinya,” tegas Wahyu.
Sebagai lembaga advokasi moderasi, Tawassuth menilai pernyataan Presiden sebagai bentuk koreksi atas ketimpangan lama dan sebagai tanda bahwa pusat mulai membangun ulang kepercayaan daerah perbatasan terhadap negara.
Ini bukan soal Aceh saja.
Ini soal bagaimana republik menegaskan siapa yang ia jaga, dan siapa yang ia dengar. Empat pulau ini adalah simbol kecil dari pertarungan besar: antara keadilan dan kelambanan. Dan hari ini, keadilan menang, pungkas Wahyu.
(Cha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar